- Back to Home »
- Berita »
- Maraknya Penjualan Bayi, Apa Harus Dibiarkan?
Posted by : Prisna Defauzi
Rabu, 04 Desember 2013
Baru-baru
ini masyarakat Bandung digemparkan dengan terungkapnya praktik penjualan bayi
oleh seorang oknum bidan berinisial T (50) pada jumat (13/9) di Jalan Desa, RT
3 RW 5, Kelurahan Cipadung, Kecamatan Cibiru, Kota Bandung. “T (50) tertangkap
saat dijebak polisi pada Jumat minggu lalu di rumahnya. Di saat itu, penyidik
bertransaksi bayi laki-laki dengan berat 3,2 Kg, panjang 49 Cm, dan baru
berumur delapan jam," ujar Kabid Humas Polda Jabar Kombes Pol Martinus
Sitompul, kepada wartawan di Mapolda Jabar. (Kamis, 19/9/2013).
Praktik
penjualan bayi semacam ini sebenarnya bukanlah kasus yang baru. Sebelumnya,
seorang ibu di Tanjungpinang, Provinsi Kepri, tega menjual bayinya yang baru
berumur 10 hari. Bayi berjenis kelamin perempuan tersebut dibandrol Rp7 juta!
Kasus ini terjadi setelah masyarakat sebelumnya dikejutkan dengan terungkapnya
sindikat penjualan bayi di kawasan Jakarta Barat pada awal Februari silam.
Berkenaan
dengan kasus praktik penjualan bayi, Komnas Perlindungan Anak (PA)
sepanjang 2011 mendapatkan 121 laporan anak hilang karena berbagai
alasan, termasuk penculikan bayi untuk kemudian diperjualbelikan. Angka itu
meningkat menjadi 182 kasus pada tahun 2012, 32 kasus diantaranya terjadi saat
anak berada di lokasi fasilitas kesehatan seperti Rumah Sakit atau klinik
bidan. sebelumnya Menteri Kesehatan (Menkes) Endang Rahayu Sedyaningsi juga
menyatakan bahwa pemerintah mencatat kasus perdagangan anak termasuk
perdagangan bayi yang terjadi selama periode 2007 hingga 2011 sudah mencapai
1000 jiwa.
Maraknya
kasus praktik penjualan bayi sebenarnya disebabkan faktor kemiskinan.
Kemiskinan inilah yang memaksa orang tua berpikiran gelap untuk menjual bayinya
karena khawatir tidak mampu membayar biaya persalinan, biaya pemulihan pasca
melahirkan, perawatan bayi dengan pelbagai kebutuhannya, kebutuhan keluarga
sehari-hari, dan biaya anak-anaknya yang sudah ada dalam tanggungan. Belum lagi
diperparah dengan kondisi keluarga yang dililit hutang. Faktor kemiskinan,
Selain menyebabkan kekhwatiran orang tua bayi tadi, juga dimanfaatkan betul
oleh sindikat penjualan bayi untuk memperoleh keuntungan materil ditengah
kebingungan orang tua bayi memikirkan bagaimana membayar biaya persalinan.
Biasanya para sindikat penjual bayi ini menjerat korbannya dengan iming-iming
membantu memberi pinjaman untuk membayar semua biaya persalinan, kemudian pada
akhirnya ketika orang tua bayi tidak mampu melunasi hutangnya, maka sebagai
gantinya orang tua bayi tersebut terpaksa harus merelakan bayinya. Maka tidak
aneh, selama kemiskinan belum dituntaskan oleh pemerintah, selama masyarakat
belum memperoleh kesejahteraan, praktik penjualan bayi bisa dipastikan tidak akan
tuntas, justeru akan semakin bertambah dari tahun ke tahunnya. Lantas, apa
sebenarnya peran yang harus dilakukan pemerintah untuk mengakhiri atau
setidaknya mengurangi praktik penjualan bayi?
Praktik
penjualan bayi termasuk kriminalitas. Pelakunya bisa dijerat dengan Pasal 83 UU
No.23 tahun 2003 mengenai Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman maksimal 15
tahun penjara dan minimal tiga tahun penjara. Namun demikian, para sindikat
penjualan bayi tak sedikitpun takut dengan ancaman hukuman penjara tersebut.
Oleh karenanya pemerintah tidak boleh hanya mengandalkan UU No. 23 tahun 2003
mengenai Perlindungan Anak saja untuk menakut-nakuti para sindikat penjualan
bayi tanpa kemudian melakukan langkah riil untuk memerangi para sindikat
penjualan bayi tesebut sekaligus menghentikan praktik penjualan bayi.
Dalam
mewujudkan upaya memerangi para sindikat penjualan bayi sekaligus menghentikan
praktik penjualan bayi di atas, pemerintah harus melibatkan banyak pihak, yaitu
para penegak hukum, masyarakat sipil, media, serta negara transit dan negara
tujuan migran. Selain upaya tersebut, upaya pemerintah yang tak kalah penting
adalah kepedulian pemerintah terhadap penuntasan kemiskinan. Seperti yang telah
disebutkan di atas, kemiskinan menjadi salah satu faktor penyebab maraknya
praktik penjualan bayi. Oleh sebab itu, maka sudah selayaknya pemerintah segera
bertindak untuk menuntaskan masalah kemiskinan dan mewujudkan kesejahteraan
sosial. Pemerintah harus segera merespon dan mencari cara supaya kebutuhan
primer masyarakat seperti biaya kesehatan gratis dengan pelayanannya yang baik,
pendidikan gratis dan berkualitas, keamanan yang terjamin, dan lapangan
pekerjaan yang memadai bisa tersedia.
Setelah
semua itu dilakukan, pemerintah juga harus memberikan pemahaman kepada
masyarakat untuk saling mencintai sesama keluarga, menjunjung tinggi
nilai-nilai moral, dan senantiasa mengikatkan diri dengan aturan agama. Dengan
demikian bukan tidak mungkin kasus-kasus seperti praktik penjualan bayi mampu
teratasi atau setidaknya terus berkurang. Meskipun upaya-upaya itu membutuhkan
waktu dan proses yang agak lama. []Prisna Defauzi