Posted by : Prisna Defauzi Selasa, 03 Desember 2013

Jika kita meyakini dakwah adalah bukti  kasih sayang tehadap manusia,
Maka sudah semestinya keluarga menjadi prioritas utama.
Keluarga adalah orang yang sangat dekat dan peduli dengan kita. Di saat kita sakit, mereka menjadi orang pertama yang begitu sibuk merawat dan memikirkan kita. Di saat kita sedih, mereka adalah orang pertama yang akan menghibur kita. Di saat kita putus asa, mereka menjadi psikiater yang bersedia kapan saja memotivasi kita. Begitupun di saat kita bahagia, mereka menjadi orang yang paling bahagia pula. Di samping itu, keluarga adalah orang terdekat yang paling mengerti karakter asli dan kebiasaan-kebiasaan kita, yang baik maupun yang buruk. Mereka adalah orang yang lebih kita sayangi dibandingkan orang lain.  Oleh karena itu, sudah sepantasnya setiap pengemban dakwah menjadikan keluarganya prioritas utama sebagai objek dakwah.

Menjadikan keluarga prioritas utama sebagai objek dakwah bukan berarti memfokuskan dakwah hanya untuk keluarga saja, sementara dakwah kepada orang lain ditinggalkan. Dalam hal ini, dakwah terhadap orang lain mesti tetap dilakukan di samping dakwah terhadap keluarga. Karena sejatinya dakwah itu ditujukan kepada siapa saja, bukan hanya dikhususkan untuk keluarga atau orang tertentu. Adapun maksud dari menjadikan keluarga prioritas utama sebagai objek dakwah merupakan bentuk penekanan terhadap kita agar tidak merasa puas begitu saja ketika sudah berhasil mmemahamkan orang lain tentang Islam, mau mengkaji Islam, dan bersedia bergabung dalam jamaah dakwah, sementara di sisi lain keluarga kita masih belum paham diakibatkan kinerja dakwah kita yang kurang maksimal kepada mereka. Sebab, sebenarnya keluarga kita mempunyai hak yang lebih utama untuk mendapatkan dakwah. Allah SWT berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim [66] :6)

Bagi pengemban dakwah, tentunya sangat memahami bahwa ayat di atas adalah perintah untuk memelihara keluarga dari siksa dan panasnya api neraka. Pengemban dakwah juga pasti memahami hanya melalui dakwah kepada keluarga sajalah satu-satunya upaya yang mesti ditempuh untuk merealisasikan perintah ayat di atas, sekaligus merupakan upaya yang dapat ditempuh untuk menjadikan keluarga sebagai prioritas utama mendapatkan dakwah. Tapi di sini harus dipahami, memang upaya dakwah yang kita lakukan terhadap keluarga bukanlah sesuatu yang mudah. Dakwah terhadap keluarga mempunyai tingkat kesulitan yang lebih dibandingkan dakwah kepada orang lain. Hal ini karena mereka mengenal betul karakter asli kita dan kebiasaan-kebiasaan yang sering kita lakukan. Oleh karena itu, perlu ada kesungguhan, prisnsip yang teguh, serta uslub yang baik dalam melakukan dakwah terhadap keluarga. Sebagai inspirasi awal, kita bisa mencontoh bagaimana kesungguhan sahabat Ammar bin Yasir tatkala berdakwah kepada keluarganya. Meskipun pada mulanya seruan beliau ditolak oleh orang tuanya. Namun dengan ketekunan dalam dakwah serta penyampaiannya yang santun dan bijaksana, sehingga melalui tangan beliau sendiri pada akhirnya orang tua beliau menjadi paham dan mau memeluk Islam, bergabung dalam jamaah dakwah, dan menjadi pejuang sejati dakwah Islam. Begitulah kesungguhan dakwah yang dicontohkan sahabat Ammar bin Yasir ketika mendakwahi keluarganya. Beliau telah memenuhi hak keluarganya dalam menerima prioritas utama sebagai objek dakwah. Tapi perlu dipahami, selain kesunguhan dakwah beliau kepada keluarganya, di sisi lain beliau juga merupakan sosok pengemban dakwah yang sangat giat menyeru, mengajak, atau mendakwahi orang lain untuk memeluk Islam dan bergabung dengan jamaah dakwah. Barangkali hal inilah yang saat ini mesti kita teladani.

Pertanyaannya, bagaimana dengan kita yang mengikrarkan diri sebagai pengemban dakwah? Apakah kesungguhan dakwah kita kepada keluarga kita sudah seperti kesungguhan dakwahnya sahabat Ammar bin Yasir kepada kelurganya? Lalu bagaimana kesungguhan dakwah kita kepada orang lain? Apakah sudah seperti yang dilakukan sahabat Ammar bin Yasir? Atau jangan-jangan kita hanya merasa puas begitu saja dengan kinerja dakwah kita yang serba minimalis? Dalam artian kinerja dakwah yang kita lakukan tidak maksimal ke mana-mana, tidak maksimal kepada orang lain dan tidak maksimal pula kepada keluarga. Oleh karena itu, bagi pengemban dakwah yang keluarganya belum bersedia mengkaji Islam secara intensif dan belum mau bergabung dengan jamaah dakwah, mulai sekarang sudah seharusnya memaksimalkan kinerja dakwah kepada keluarga kita dengan berprinsip kepada surat an- Nahl: 122;  bi al-hikmah, wal-mau’izhatil hasanah, wa jaadilhum bi al-laty hiya ahsan. Ingat, meskipun hidayah sepenuhnya hak Allah, tapi usaha yang kita lakukan tidak boleh ala kadarnya saja.

Perlu dicatat, memang masih banyak tugas dakwah yang mesti kita lakukan; baik itu terhadap keluarga kita, teman kita, maupun kepada orang lain di sekitar kita.  Oleh karena itu, hendaklah para pengemban dakwah bersungguh-sungguh  dalam berdakwah, mengerahkan tenaga, harta, dan pikirannya, serta memperkaya uslub dakwahnya. Terakhir, terkait kewajiban dakwah kita kepada keluarga, ada sebuah nasihat yang perlu kiranya kita renungkan: “jika kita meyakini dakwah adalah bukti kasih sayang kita terhadap manusia, maka sudah semestinya keluarga menjadi prioritas utama.”  [] Prisna Defauzi




Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Muslim Writer -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -