Posted by : Prisna Defauzi Minggu, 08 Desember 2013



Setiap manusia yang telah mengikrarkan Laa Ilaaha IllalLahu Muhammadun RasuululLah berarti ia telah memeluk Islam sebagai view of life (pandangan hidup)-nya. Konsekuensinya, hukum Islam yang Allah syariatkan wajib diambil dan diterapkan secara komprehensif dalam semua aspek kehidupan tanpa ada keraguan sedikitpun. Sayangnya, pada hari ini, hukum Islam tersebut tidak diterapkan seluruhnya dalam semua aspek kehidupan, terutama yang menyangkut kehidupan sosial bermasyarakat, bernegara, berekonomi, dan berpolitik; baik itu politik dalam negeri maupun luar negeri. Hal tersebut terlihat jelas pasca runtuhnya kekhilafahan utsmaniyyah selaku institusi pelaksana syariat pada 3 maret 1924. Oleh karena itu, untuk kembali menerapkan syariat Islam secara komprehensif, maka tidak ada pilihan lagi selain memperjuangkan tegaknya khilafah selaku institusi pelaksana syariah. 
 


Eksistensi Khilafah, selain merupakan kewajiban sekaligus konsekuensi keislaman seseorang, faktanya amat dibutuhkan oleh umat islam seluruhnya. Bagaimana tidak, pasca runtuhnya khilafah, kondisi umat islam semakin hari semakin terpuruk dalam berbagai aspek. Aspek kemiskinan misalnya, di Indonesia saja, berdasarkan Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dipublikasikan BPS (Badan Pusat Statistik) pada 2 juli 2012 kemarin, jumlah penduduk miskin dengan standar penghasilan Rp. 8.000 perorang perhari sudah mencapai 29.13 juta jiwa (11.96%). Apalagi bila menggunakan standar kemiskinan Bank Dunia dengan penghasilan kurang dari 2 US$ perorang perhari, maka jumlah orang miskin di negeri ini sudah mencapai 100 juta jiwa (40.8%), hampir setengahnya dari jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 245 juta jiwa. Ini hanya di satu negeri kaum muslimin saja. Bayangkan, betapa banyaknya umat islam yang miskin apabila jumlah umat islam yang miskin di seluruh negeri kaum muslimin diakumulasikan? Belum lagi dari aspek kriminalitas, kebodohan, penjajahan, penistaan dan pembantaian seperti yang terjadi di Palestina, Afganistan, Irak, Mesir, Suriah, Myanmar, dst. Semua itu adalah bukti kongkrit begitu terpuruknya umat Islam tanpa eksistensi khilafah.

Padahal, jika melihat sejarah, secara jelas fakta menunjukan bahwa ketika hukum Islam dterapkan secara komprehensif melalui institusi khilafah; kesejahteraan, keamanan, pendidikan, dll. dapat dirasakan dan direalisasikan dengan begitu gemilang. Umat islam pun menjadi umat yang terbaik. Tidak ada istilah penistaan dan pembantaian terhadap umat islam. Lebih jauh dari itu, sejarah membuktikan bahwa eksistensi khilafah mampu melahirkan ulama-ulama dan ilmuwan-ilmuwan yang disegani oleh barat sekalipun hingga hari ini. Kala itu khilafah benar-benar menjadikan peradaban umat islam menjadi peradaban yang mulia. Umat islam beserta Khilafahnya menjelama menjadi satu-satunya kekuatan yang ditakuti dan segani oleh barat.

Hal tersebut secara jujur dikemukakan oleh ilmuwan barat, Will Durant dalam bukunya The Story of Civilization: Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha mereka. Para khilafah pun telah menyediakan berbagai peluang bagi siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan yang berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan menyebar luas sehingga berbagai ilmu, sastra, falsafah, dan seni mengalami kejayaan yang luar biasa”. Dengan demikian, sudah selayaknya umat Islam yang mengetahui fakta tersebut bahu membahu berjuang menegakan kembali khilafah dengan penuh pengorbanan. Sebab, dengan pengorbananlah kemudian syariat Islam akan dapat diterapkan kembali secara komprehensif.

Terkait pengorbanan, setelah Rasulullah saw, para sahabat dan generasi setelahnya adalah prototype terbaik dalam hal pengorbanan. Sebab, mereka adalah generasi yang sangat memahami arti sebuah pengorbanan. Bagi mereka, pengorbanan di jalan Allah adalah perwujudan dari cintanya yang begitu sejati kepada Allah swt. Bukankah tegaknya daulah Islam pertama kali di Madinah dan meluasnya wilayah kekuasaan daulah Islam sampai dua pertiga dunia saat itu merupakan bukti betapa besarnya pengorbanan Rasulullah, para sahabat dan generasi setelahnya?

Salah satu pelajaran penting dari arti sebuah pengorbanan dapat kita dapati dari sosok sahabat mulia Khalid bin Walid. Seorang panglima perang ahli strategi yang gagah berani. Rasulullah menjulukinya “Singa Allah”. Sebagaimana yang diriwayatkan dari al-Mubarak dan Abu Nu’aim, pernah suatu hari Khalid bin Walid dengan bangganya berkata: “Aku lebih menyukai malam yang sangat dingin dan bersalju di tengah-tengah pasukan yang akan menyerang musuh pada pagi hari, daripada menikmati indahnya malam pengantin bersama wanita yang aku cintai atau aku dikabari dengan kelahiran anak laki-laki.”

Sahabat lain, Haram bin Milham, juga memberikan arti sebuah pengorbanan yang berharga bagi umat Islam. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad, suatu hari Haram bin Milham pernah tertusuk tombak dalam sebuah peperangan. Tombak itu lalu ia cabut. Darah pun mengucur dari tubuhnya. Bukannya meringis kesakitan. Sebaliknya, ia malah berkata: “Demi Allah, aku beruntung.”

Generasi pejuang ‘Izzul Islam wal Muslimin berikutnya, Salahuddin al-Ayyubi, pengorbanannya sama sekali tidak kalah dengan generasi para sahabat. Semasa hidupnya, ia lebih suka berada di kemah di tengah-tengah padang pasir ketimbang hidup bermegah-megahan di istana. Para sejarahwan menulis: “setiap pembicaraan Sultan selalu berkisar di seputar jihad dan mujahidin. Ia selalu mengamati senjatanya dan lebih senang hidup di kemah di tengah-tengah padang pasir.”

Demikianlah sedikit contoh pengorbanan dari generasi umat Islam pada masa lalu. Generasi terbaik yang bukan saja rela berkorban demi ‘Izzul Islam wal Muslimin. Lebih dari itu, mereka adalah generasi yang mencintai pengorbanan di jalan Allah swt melebihi kecintaan mereka terhadap diri mereka sendiri.

Oleh karena itu, saat ini, tidak patut bagi umat Islam berbangga diri dan menyatakan pengorbanan mereka adalah pengorbanan yang teramat besar, sementara di sisi lain; waktu, kesibukan, tenaga, harta, dan pikiran mereka lebih banyak dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan duniawi semata ketimbang menghabiskannya di jalan Allah swt dengan berkorban demi tegaknya Khilafah.

Perlu diketahui bersama, cita-cita menerapkan syariat Islam secara komprehensif melalui tegaknya khilafah adalah cita-cita besar yang membutuhkan pengorbanan yang begitu besar. Besarnya pengorbanan tersebut harus diupayakan lebih besar atau setidaknya sama dengan besarnya pengorbanan Rasulullah saw bersama para sahabat dalam menegakan daulah Islam di Madinah dulu. Pasalnya,  sudah menjadi rahasia umum, betapa kontinyunya Rasulullah bersama para sahabat dulu dicerca dan dicibir. Pengorbanan mereka pun penuh dengan keringat, air mata, bahkan darah kaum muslimin. Tidak hanya itu, waktu, tenaga, harta dan pikiran mereka juga telah banyak dikorbankan dalam perjuangan mereka. Pertanyaannya, bukankah seperti itu juga seharusnya umat Islam saat ini berkorban?

Jelaslah, tidak ada alasan lagi bagi umat islam, apalagi bagi pengemban dakwah untuk merasa cukup dengan pengorbanannya selama ini. Jangan sampai merasa puas hanya dengan rutin halaqah, membayar infak rutin, atau membaca buletin saja. Jangan sampai berpikir bahwa aktivitas dakwah adalah aktivitas sampingan yang jika sempat kemudian dilakukan namun jika tidak begitu saja ditinggalkan. Meskipun sudah lulus kuliah, menikah, setelah punya anak, atau disibukkan oleh kerja dan bisnis, tetaplah memberikan pengorbanan demi tegaknya khilafah dengan penuh kecintaan melebihi kecintaan kepada diri sendiri. []Prisna Defauzi


Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Muslim Writer -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -