- Back to Home »
- Opini , Tsaqofah »
- Pengorbanan Demi Tegaknya Khilafah; Pengorbanan Demi Terwujudnya ‘Izzul Islam wal Muslimin
Posted by : Prisna Defauzi
Minggu, 08 Desember 2013
Eksistensi
Khilafah, selain merupakan kewajiban sekaligus konsekuensi keislaman seseorang,
faktanya amat dibutuhkan oleh umat islam seluruhnya. Bagaimana tidak, pasca
runtuhnya khilafah, kondisi umat islam semakin hari semakin terpuruk dalam
berbagai aspek. Aspek kemiskinan misalnya, di Indonesia saja, berdasarkan
Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dipublikasikan BPS (Badan
Pusat Statistik) pada 2 juli 2012 kemarin, jumlah penduduk miskin dengan
standar penghasilan Rp. 8.000 perorang perhari sudah mencapai 29.13 juta jiwa
(11.96%). Apalagi bila menggunakan standar kemiskinan Bank Dunia dengan
penghasilan kurang dari 2 US$ perorang perhari, maka jumlah orang miskin di
negeri ini sudah mencapai 100 juta jiwa (40.8%), hampir setengahnya dari jumlah
penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 245 juta jiwa. Ini hanya di satu
negeri kaum muslimin saja. Bayangkan, betapa banyaknya umat islam yang miskin
apabila jumlah umat islam yang miskin di seluruh negeri kaum muslimin diakumulasikan?
Belum lagi dari aspek kriminalitas, kebodohan, penjajahan, penistaan dan
pembantaian seperti yang terjadi di Palestina, Afganistan, Irak, Mesir, Suriah,
Myanmar, dst. Semua itu adalah bukti kongkrit begitu terpuruknya umat Islam
tanpa eksistensi khilafah.
Padahal,
jika melihat sejarah, secara jelas fakta menunjukan bahwa ketika hukum Islam
dterapkan secara komprehensif melalui institusi khilafah; kesejahteraan,
keamanan, pendidikan, dll. dapat dirasakan dan direalisasikan dengan begitu gemilang.
Umat islam pun menjadi umat yang terbaik. Tidak ada istilah penistaan dan
pembantaian terhadap umat islam. Lebih jauh dari itu, sejarah membuktikan bahwa
eksistensi khilafah mampu melahirkan ulama-ulama dan ilmuwan-ilmuwan yang
disegani oleh barat sekalipun hingga hari ini. Kala itu khilafah benar-benar
menjadikan peradaban umat islam menjadi peradaban yang mulia. Umat islam
beserta Khilafahnya menjelama menjadi satu-satunya kekuatan yang ditakuti dan
segani oleh barat.
Hal
tersebut secara jujur dikemukakan oleh ilmuwan barat, Will Durant dalam bukunya
The Story of Civilization: “Para khalifah telah memberikan keamanan
kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha
mereka. Para khilafah pun telah menyediakan berbagai peluang bagi siapapun yang
memerlukannya dan memberikan kesejahteraan yang berabad-abad dalam keluasan
wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah masa
mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan menyebar luas sehingga
berbagai ilmu, sastra, falsafah, dan seni mengalami kejayaan yang luar biasa”. Dengan
demikian, sudah selayaknya umat Islam yang mengetahui fakta tersebut bahu
membahu berjuang menegakan kembali khilafah dengan penuh pengorbanan. Sebab,
dengan pengorbananlah kemudian syariat Islam akan dapat diterapkan kembali
secara komprehensif.
Terkait
pengorbanan, setelah Rasulullah saw, para sahabat dan generasi setelahnya
adalah prototype terbaik dalam hal pengorbanan. Sebab, mereka adalah
generasi yang sangat memahami arti sebuah pengorbanan. Bagi mereka, pengorbanan
di jalan Allah adalah perwujudan dari cintanya yang begitu sejati kepada Allah
swt. Bukankah tegaknya daulah Islam pertama kali di Madinah dan meluasnya
wilayah kekuasaan daulah Islam sampai dua pertiga dunia saat itu merupakan
bukti betapa besarnya pengorbanan Rasulullah, para sahabat dan generasi
setelahnya?
Salah
satu pelajaran penting dari arti sebuah pengorbanan dapat kita dapati dari
sosok sahabat mulia Khalid bin Walid. Seorang panglima perang ahli strategi
yang gagah berani. Rasulullah menjulukinya “Singa Allah”. Sebagaimana yang
diriwayatkan dari al-Mubarak dan Abu Nu’aim, pernah suatu hari Khalid bin Walid
dengan bangganya berkata: “Aku lebih menyukai malam yang sangat dingin dan
bersalju di tengah-tengah pasukan yang akan menyerang musuh pada pagi hari,
daripada menikmati indahnya malam pengantin bersama wanita yang aku cintai atau
aku dikabari dengan kelahiran anak laki-laki.”
Sahabat
lain, Haram bin Milham, juga memberikan arti sebuah pengorbanan yang berharga
bagi umat Islam. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Muslim,
dan Ahmad, suatu hari Haram bin Milham pernah tertusuk tombak dalam sebuah
peperangan. Tombak itu lalu ia cabut. Darah pun mengucur dari tubuhnya. Bukannya
meringis kesakitan. Sebaliknya, ia malah berkata: “Demi Allah, aku
beruntung.”
Generasi
pejuang ‘Izzul Islam wal Muslimin berikutnya, Salahuddin al-Ayyubi,
pengorbanannya sama sekali tidak kalah dengan generasi para sahabat. Semasa
hidupnya, ia lebih suka berada di kemah di tengah-tengah padang pasir ketimbang
hidup bermegah-megahan di istana. Para sejarahwan menulis: “setiap
pembicaraan Sultan selalu berkisar di seputar jihad dan mujahidin. Ia selalu
mengamati senjatanya dan lebih senang hidup di kemah di tengah-tengah padang
pasir.”
Demikianlah
sedikit contoh pengorbanan dari generasi umat Islam pada masa lalu. Generasi
terbaik yang bukan saja rela berkorban demi ‘Izzul Islam wal Muslimin.
Lebih dari itu, mereka adalah generasi yang mencintai pengorbanan di jalan
Allah swt melebihi kecintaan mereka terhadap diri mereka sendiri.
Oleh
karena itu, saat ini, tidak patut bagi umat Islam berbangga diri dan menyatakan
pengorbanan mereka adalah pengorbanan yang teramat besar, sementara di sisi
lain; waktu, kesibukan, tenaga, harta, dan pikiran mereka lebih banyak
dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan duniawi semata ketimbang menghabiskannya di
jalan Allah swt dengan berkorban demi tegaknya Khilafah.
Perlu
diketahui bersama, cita-cita menerapkan syariat Islam secara komprehensif
melalui tegaknya khilafah adalah cita-cita besar yang membutuhkan pengorbanan
yang begitu besar. Besarnya pengorbanan tersebut harus diupayakan lebih besar
atau setidaknya sama dengan besarnya pengorbanan Rasulullah saw bersama para
sahabat dalam menegakan daulah Islam di Madinah dulu. Pasalnya, sudah
menjadi rahasia umum, betapa kontinyunya Rasulullah bersama para sahabat dulu
dicerca dan dicibir. Pengorbanan mereka pun penuh dengan keringat, air mata,
bahkan darah kaum muslimin. Tidak hanya itu, waktu, tenaga, harta dan pikiran
mereka juga telah banyak dikorbankan dalam perjuangan mereka. Pertanyaannya,
bukankah seperti itu juga seharusnya umat Islam saat ini berkorban?
Jelaslah,
tidak ada alasan lagi bagi umat islam, apalagi bagi pengemban dakwah untuk
merasa cukup dengan pengorbanannya selama ini. Jangan sampai merasa puas hanya
dengan rutin halaqah, membayar infak rutin, atau membaca buletin saja.
Jangan sampai berpikir bahwa aktivitas dakwah adalah aktivitas sampingan yang
jika sempat kemudian dilakukan namun jika tidak begitu saja ditinggalkan.
Meskipun sudah lulus kuliah, menikah, setelah punya anak, atau disibukkan oleh
kerja dan bisnis, tetaplah memberikan pengorbanan demi tegaknya khilafah dengan
penuh kecintaan melebihi kecintaan kepada diri sendiri. []Prisna Defauzi